Friday, April 14, 2006

 

Ketika Hatimu Gundah

Sebel. Panji menggerutu dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia bahwa semua orang menjadi tidak menyenangkan. Di jalan ia melihat polisi yang sedang menghentikan sebuah mobil dan tampak sedang menginterogasi pengendaranya. Atau mungkin negosiasi. Di rumah semuanya serba berantakan. Lantai kotor, buku berserak, koran-koran bertaburan dimana-mana. Kontrakan rumah juga sebentar lagi habis. Pagi-pagi sampai kantor teman-temannya seakan menjadi serba menyebalkan. Senyuman mereka malah seperti mengejek dirinya. Ditambah lagi beberapa pelanggannya masih belum membayar tagihannya. Ia juga banyak menerima telepon dari bagian penagihan tentang pelanggannya yang menunggak pembayaran. Bos-nya yang biasanya bersikap ramah juga tiba-tiba menjadi saklek dan seakan menyeramkan.

Antin yang biasanya menjadi penghibur semua orang, karena wajahnya yang polos dan senyumnya yang tulus. Hari itu terlihat ketus. Jacky yang biasanya ceria dengan candanya hari itu seakan menjadi pendiam dan pemurung. Apalagi Pak Lukman, Zaeni, Rudi, Hardi sampai Pak Edi driver. Semua menjadi tidak menyenangkan.

Semua serba menjengkelkan. Itulah yang kejadiannya. Masalah seakan bertumpuk-tumpuk dan semakin bertumpuk lagi. Suasana hati kita akan mempengaruhi penerimaan kita terhadap sikap orang lain.

Pernah suatu ketika di telepon umum koin yang terpasang di sudut pujasera, ada dua orang yang sedang menelpon. Saling bersebelahan. Di belakangnya antrian cukup panjang. Di sekeliling tempat itu ada penjual kaset, penukar koin, tidak ketinggalan peminta-minta juga standby disana. Pemuda itu tampak sedang asyik menelepon, bahkan terlihat riang san sesekali tersenyum. Di sebelahnya laki-laki itu tampak gusar, sebentar-sebentar ditutup gagang telepon itu, lalu memutar nomor lagi. Sepertinya ia tidak tersambung ke nomor tujuannya. Berkali-kali ia ulang. Sampai ia berkeringat. Ia mencocokkan nomor dengan catatannya, ia yakin tidak salah dial. Hingga akhirnya dengan gusar ia letakkan gagang telepon, dengan keras.

Berikutnya terlihat pemandangan yang berbeda. Pemuda yang riang itu mengakhiri percakapannya dengan mengucap salam, dengan lembut, sambil tersenyum. Menutup telepon dengan halus. Mempersilakan orang yang mengantri di belakangnya, sambil tersenyum dan minta maaf. Ia sempat memberikan uang recehan ke nenek pengemis yang duduk disudut. Sebaliknya laki-laki itu dengan merengut meletakkan gagang telepon, sempat marah-marah kepada orang di belakangnya dan bahkan menghardik seorang anak peminta-minta yang mendekatinya.

Sebuah pemandangan yang kontras, namun disebabkan oleh hal yang sama. Suasana hati. Jika hati kita senang, melakukan pekerjaan akan terasa mudah dna menyenangkan. Sebaliknya jika hati kita gundah, gelisah, resah, semua pekerjaan jadi tidak menyenangkan. Menyelesaikannya juga karena keterpaksaan. Jauh dari nilai keikhlasan.

Panji memiliki caranya sendiri untuk menghilangkan kegundahan dalam hatinya. Ia biasanya menghubungi teman dan sahabat lamanya. Bercerita tentang masa lalu, ketika di sekolah, atau mengingat kejadian-kejadian lucu yang pernah ia lalui bersama teman-teman. Kadang ia ungkapkan dalam tulisan-tulisan dalam blog pribadi di internet. Mendengarkan lagu ruhani kesukaannya. Dan sekarang punya satu lagi tempat bercerita. Bang Idris. Pembimbing ruhaninya. Bang Idris rutin mengisi pengajajian di kantornya seminggu sekali. Ia juga bersama teman-teman yang kerja di tempat lain memiliki pertemuan khusus dengan Bang Idris. Pertemuan mingguan dalam bentuk halaqah mulai ia lakukan dengan intensif. Satu kelompok pengajiannya tidak lebih dari sepuluh orang. Namun ia benar-benar menemukan kedamaian disana. Ilmu, wawasan, keimanan, pergaulan dan persaudaraan ia temukan disana.

Panji pun mengambil hp­-nya dan mulai memencet tombol di atasnya. Ia ingin share masalahnya dengan Bang Idris. Wajahnya tiba-tiba berubah, ada rona keceriaan ketika ia membaca balasan dari murabbi­-nya itu. Indahnya berbagi.

(karimun/jm)


Comments: Post a Comment

<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?